makalah tokoh dan aliran pendidikan modern

MAKALAH DASAR DASAR PENDIDIKAN
Tokoh , Aliran Dan Pemikiran Pendidikan Modern Dan Islam

 

 

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Dasar Dasar Pendidikan

 

 

 


Disusun oleh :
Jajang Komar
Rina Pathonah
Rini andriani


FAKULTAS TARBIYAH
STAI YAPATA ALJAWAMI
2016







KATA PENGANTAR




Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Dzat yang menjadi sumber segala kebaikan dan kesempurnaan. Atas kasih sayang, petunjuk dan pertolongan-Nya, akhirnya saya peribadi dapat menyelasaikan makalah ini. Semoga shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan panutan umat manusia baginda Rasulullah saw, kaluarganya, para shahabatnya dan seluruh umatnya.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi tugas Dasar Dasar Pendidikan Yang Berjudul Tokoh, Aliran Dan Pemikiran Pendidikan Modern Dan Islam, mudah – mudahan kehadiran makalah ini dapat menambah khazanah tentang pemikiran orang-orang liberal dan fundamental di Indonesia.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab pada beberapa bagian dalam kajian makalah ini masih banyak menyisakan banyak persoalan yang penting untuk diselesaikan dan tidak menutup kemungkinan mengandung kekurangan dan kekeliruan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh sebab itu saran atau masukan dari berbagai pihak dalam rangka untuk melengkapi dan memperbaiki berbagai kekeliruan dan kekurangan dalam tulisan ini merupakan sesuatu yang sangat dinantikan.
Kepada semua pihak yang telah membantu, kami ucapkan terimakasih, semoga Allah membalas semua kebaikan kita semua.
Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.














Bandung, 23 November 2016


Rini











BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang 
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami lebih menekankan pada makna pembaharuan beserta landasan dan tujuan pembaharuan Islam.
B.     Pembatasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami membatasi masalanya  sebagai berikut :
4.      Hakikat Makna Pembaruan Islam
5.      Landasan Bagi Pembaruan Islam
6.      Perkembangan Ajaran Islam pada Masa Pembaruan
7.      Tokoh-tokoh Pembaruan Islam dan Pemikiranya
8.      Tujuan Pembaruan dalam Islam
9.      Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
C.     Tujuan penulisan makalah
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini diarahkan untuk  mengetahui :
1.      Hakikat Makna Pembaruan Islam
2.      Landasan Bagi Pembaruan Islam
3.      Perkembangan Ajaran Islam pada Masa Pembaruan
4.      Tokoh-tokoh Pembaruan Islam dan Pemikiranya
5.      Tujuan Pembaruan dalam Islam
6.      Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
D.    Sistematika penulisan
Sebagai langkah akhir dalam penulisan makalah ini, maka klasifikasi sistematika penulisannya sebagai berikut :
Bab I               : Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan   penulis, dan sistematika penulis.
Bab II              : Membahas tentang Hakikat Makna Pembaruan Islam, Landasan Bagi Pembaruan Islam, Perkembangan Ajaran Islam, Masa Pembaruan dan Tokoh-tokoh Pembaruan Islam dan Pemikiranya Tujuan Pembaruan dalam Islam, dan Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam.
Bab III            : Merupakan bab terakhir dalam penulisan bab ini yang berisikan tentang Kesimpulan dan Daftar Pustaka.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam

Secara etimologi pemikiran berasal dari kata dasar pikir, berarti proses, cara atau perbuatan memikir yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dalam konteks ini pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana sedangkan pendidikan, secara umum berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia (peserta didik),melalui upaya pengajaran dan latihan. Serta proses perbuatan dan cara-cara mendidik. Dengan berpijak pada definisi diatas. maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.

Pendidikan  Islam dalam  tafsir  pendidikan (menurut) Islam adalah suatu pandangan yang didasari pengertian bahwa Islam  adalah ajaran tentang nilai- nilai  dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah
[1]. Dalam hal ini pendidikan menurut Islam, dapat dipahami  sebagia ide-ide, konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma kependidikan, sebagaimana yang dapat dipahami  dan dianalisis serta dikembangkan dari sumber otentik ajaran Islam, yaitu  al-Qur’an dan al-Sunnah.

Pendidikan  Islam  dalam tafsir  pendidikan (dalam) Islam  berdasarkan sudut pandang, bahwa  Islam adalah ajaran-ajaran, sestem budaya  dan peradaban yang tumbuh  dan berkembang  serta didukung oleh umat Islam  sepanjang sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sampai masa sekarang. Dari sini kita dapat pahami bahwa pendidikan dalam Islam adalah “proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan dikalangan umat Islam yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam  rentangan sejarah Islam”.
[2]

Pendidikan Islam dalam arti penyelenggara lembaga pendidikan Islam adalah pendidikan yang diselengaraka oleh individu, organisasi massa Islam, yayasan dan sebagainya seperti al-Khaerat, DDI, Muhammadiyah, NU  dll.

Pendidikan Islam dalam  arti pewarisan ajaran Islam, dalam kenyataan dapat dilihat  dari pendekatan  kurikulum, maka yang dimaksud dengan pendidkan Islam adalah pendidikan  Islam yang diselenggarakan oleh  madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab hanya di kedua kelembagaan inilah kurikilum agama Islam dilaksanakan  secara utuh. Kurikulum dikedua lembaga tersebut  hanya terdiri dari ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, serta kitab-kitab Islam  klasik. Kementrian Agama juga menyelenggarakan pendidikan dengan lembaganya yaitu jenjang pendidikan rendah (madrasah ibtidaiyah), menengah (madrasah tsanawiyah dan aliyah),  dan perguruan tinggi (Institut Agama Islam dan Sekolah tinggi agama Islam), Yang kurikulumnya adalah asimilasi  kurikulum sekolah umum sepenuhnya dan ilmu-ilmu Islam ( Bahasa arab, fiqh, Aqidah Ahlaq,  Al-Qur’an hadis, dan ski).

Pendidikan Islam di Indonesia sangat beragam, menurut Karel Adrian Steenbrink perubahan dan perkembangan pendidikan Islam  di Indonesia atas dasar kebutuhan zamannya.
[3] 

Hal tersebut juga tergambar dalam pergulatan pemikiran pendidikan antara mempertahankan pola lama yang asli (pondok pesantren) yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam klasik dan mengikuti perkembangan  ilmu pengetahuan dan sains dengan melakukan pembaharuan diberbagai bidang.

Alasan pembaharuan yang mengarah pada muatan kurikulum, bentuk lembaganya menghasilkan bentuk-bentuk lembaga seperti; madrasah, sekolah Islam
[4] dan pondok pesantern  yang memasukkan ilmu-ilmu umum (sains) bahkan pondok modern gontor mewajibkan santri secara aktif dapat menguasai bahasa inggris[5], tentu hal ini dimaksud mengejar ketertinggalan  dari kemajuan bangsa-bangsa eropa  yang didukung oleh kemampuan dalam bidang  sains dan teknologi dengan berusaha tidak sampai kehilangan  jati diri sebagai muslim.

Pedidikan Islam modern menurut Hasan  Langgulung  mengacu pada dua pola , yaitu bersifat asimilatif dan adoftif. Pola pertama dilakukan dengan cara mengasimilasi  sisitem pendidikan  Islam  dengan system pendidikan barat, sedang yang kedua  adalah dengan mengadobsi system pendidikan barat  kedalam system pendidikan Islam.
[6] Perubahan seperti ini menurut  winarno Surachmad merupakan perubahan  yang bersifat  meliorisme, maksudnya bahwa perubahan dibidang pendidikan belum menyentuh perubahan yang  mendasar. 

Untuk mendefinisikan pendidikan Islam perlu mengkaji kembali pendidikan Islam pada  tataran ontologis agar dapat  melakukan  perumusan  dan jati diri pendidikan Islam  dalam arti pendidikan (menurut) Islam, hal ini penting untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan  dalam melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam, sebagaiman terlihat dalam beragamnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengatasnamakan  pendidikan Islam. Dilain pihak hal ini juga penting untuk membedakan  dengan  konsep  pendidikan barat yang jelas-jelas berangkat  dari filsafat  sekuler yang berpusat pada antroposentris (kafir)
[7] yang nyata-nyata bertentangan dengan konsep tauhid Islam yang harus menjadi kerangka seluruh usaha pendidikan menjadikan manusia mukmin.

Karena  obyek dan subyek pendidikan adalah manusia , maka pencarian makna realitas penciptaan manusia (tataran ontology) menurut Islam harus dirumuskan dengan pendekatan yang juga telah baku dalam tradisi Islam (metode deduktif) yaitu,
1.                   Pendekatan kewahyuan (al-Qur’an dan al-Hadis) dari sisi tekstual dan  kontekstual.
2.                   Empirik keilmuan dan rasional  filosofis yang hanya di gunakan  untuk menalar pesan-pesan Tuhan  yang absolute, baik melalui ayat-ayatnya yang bersifat tekstual (al-Qur’an dan al-Hadis), maupun ayat-ayatnya yang bersifat kontekstual(kauniyah).[8]
Pendekatan-pendekatan di atas berangkat dari kebenaran berpusat pada Tuhan (teosentris), sarat etik, yang berbeda sekali dengan konsep barat  sekuler), netral etik, kebenaran berpusat pada manusia (antroposentris). Demikian pula  titik berangkatnya pendekatan Islam dari suatu kebenaran yang diyakini (diimani) yang berbeda sekali dengan konsep barat (sekuler), titik berangkatnya dari ketidak percayaan.



B.     Tujuan Pemikiran Pendidikan Islam

Secara khusus pemikiran pendidikan islam memiliki tujuan sangat komplek diantaranya adalah :
  1. Untuk membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis dan kritis terhadap persoalan-persoalan di seputar pendidikan islam.
  2. Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran islam dan akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual diluar islam.
  3. Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditujukan oleh Rosulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan, terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan islam yang lebih baik.
  4. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem pendidikan nasional.

Munculnya dinamika pembaharuan pemikiran pendidikan yang dilakukan sejumlah intelektual muslim dari masa ke masa, tidak terlepas dari kondisi objektif sosial-budaya dan sosial keagamaan umat islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa dinamika pemikiran intelektual muslim merupakan hasil refleksi terhadap kondisi umat islam pada zamannya. Sederetan intelektual muslim, sejak masa awal sampai pada era posmodernisme telah berupaya merekonstruksi guna terciptanya sistem pendidikan islam yang ideal. kelompok intelektual muslim tersebut antara lain adalah :

1.      Ibnu Maskawih (Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawih), lahir di rayy sekitar tahun 320 H./ 432 M. dan meninggal di isfaham pada tanggal 9 safar buwaihi yang berlatarbelakang mazhab syi’ah. Perhatiannya dalam menuntut ilmu sangat besar. Hal ini tercermin dari bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bidang sejarah umpamanya, ia belajar dengan Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-qadhi, filsafat dengan ibn al-khammar, dan kimia dengan Abu Thayyib. Pemikirannya tentang pendidikan lebih berorientasi pada pentingnya pendidikan akhlak. hal ini tercermin dari karya monumentalnya, Tahzib al-akhlaq. melalui karya tersebut Miaskawih menyetakan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya sikap batin yang secara spontan mampu mendorong lahirnya perilaku dalam memperoleh kerimah-perilaku yang demikian akan sangat membantu peserta didik dalam memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan yang sejati.

2.     Ibn Sina (Abu Ali al-Husaiyn ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Sina) lahir pada tahun 370/ 980 di asyanah, Bukhara (dalam peta modern masuknya Turkistan) ia wafat oleh penyakit disentri pada tahun 428/1037 dan dimakamkan di Hamadan (sekarang dalam wilayah Iran). Hasil pemikiran dari Ibn Sina diantaranya:  Falsafah wujud, Falsafah Faidh, Falsafah Jiwa

3.  Ibn Khaldum (Waliuddin Abdurrahman bin Muhamad bin Muhammad bin Hasan bin Jobir bin Muhammad binIbrahin bin Abdurrahman bin Walid bin Usman) lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 406 M. Diantara stressing ruint pemikiran Khaldum adalah pada bidang pendidikan islam dalam melaksanakan pendidikan, maka menurut Khaldum paling tidak ada dua tujuan yang perlu disentuh yaitu jasmaniah dan rohaniah.

4.  Muhammad Abduh ibn hasan Khairuddin, lahir pada tahun 1265 H/ 1849 M. Pada sebuah desa dipropinsi Gharbuyyah-ia lahir dari lingkungan petani sederhana yang taat dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Menurut Abduh metode yang kuno sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dewasa ini, sebab metode tersebut menurut tumbuhnya daya peserta didik dalam bukunya al- a’mal al-kamila Abduh menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik. Metode yang di maksud adalah metode diskusi.

5.   Ismail raji al faruqi, lahir di Sayfa (palestina) pada tanggal 1 Januari 1921. Ia meninggal pada tanggal 1986. latar belakang pendidikannya ditempuh pada pendidikan barat yaitu Colege Des Peres (1936). Kemudian pendidikan pasca sarjana mudanya ia rampungkan pada America University (1941). Kemuudian program magisternya pada Indian University dan harvard University dalam bidang filsafat. sedangkan gelar doktor ia peroleh pada indian university dalam bidang yang sama. Menurut analisis al-faruq umat islam saat ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan lemah, baik secara moral, politik, dan ekonomi terutama komunitas intelektual dalam wacana keagamaan, umat islam terbelenggu oleh Khurafal, kondisi ini membuat umat islam taqlid yang berlebihan terutama dalam aspek syariat. Kondisi ini membuat umat islam berada dalam kondisi statis dan enggan melakukan kreativitas, ijtihad.

6.   Syed Muhammad Waquib al-attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Paradigma pemikiran al-attas bila diaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berasal dari dunia metafisika kemudian kedunia kosmologis dan mermuara pada dunia psikologis, perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikan andil yang yang sangat besar dalam pembentukan paradigma pemikiran selanjutnya.

C.    Model Pemikiran Pendidikan Islam

Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:  

Pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam. 

Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. 

Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.

Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:

1.    Tekstualis Salafi

Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.

2.    Tradisionalis Mazhabi

Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.

Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.


3.    Modernis

Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.

4.    Neo Modernis
Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Oleh karena itu pengembangan pemikiran pendidikan dalam Islam tidak dilakukan dengan mendikotomikan pendidikan, antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Islam tidak mengajarkan pengikutnya untuk memilah-milah ilmu pengetahuan, karena semua ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya bagian dari sunatullah dan tunduk pada ketentuan Allah swt. 

Gagasan untuk melakukan islamisasi sains tidak dilakukan secara revolusi, tapi dikembangkan secara evolusi dan bertahap. Dengan catatan bahwa sebelumnya sudah dipersiapkan berbagai sarana pendukung, baik kurikulum, proses pembelajaran, system evaluasi, media pembelajaran sampai pada tatakelola pendidikan. 

Melalui Mata kuliah pemikiran pendidikan Islam ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan analisis kritis dan histories terhadap berbagai pemikiran pendidikan Islam dan mencoba melihat aspek epistemologis bangunan pemikirannya dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang relevan pada masanya baik social politik dan ideology maupun gerakan intelektual dan problem kebudayaan pada suatu masa dan masa-masa lainnya, serta mencoba membuat analisis reflektif terhadap kondisi yang berkembang saat ini. 

D.    Ruang Lingkup Pemikiran Pendidikan Islam

Merujuk pada hakekat pendidikan Islam yang tidal lain adalah realisasi fungsi rububiyah Allah terhadap manusia dalam rangka menyiapkan dan membimbing serta mengarahkanya, agara nantinya mampu melaksanakan  tugas kekhalifahan sekaligus abd dimuka bumi  dengan sebaik-baiknya, maka sudah menjadi tugas dan tanggung jawab manusia (orang tua dan generasi tua pada umumnya) untuk melaksanakan tugas tersebut yang meliputi empat cakupan  yang menjadi ruang lingkup pendidikan Islam.
[9] 
  1. Tahap Takhliq (tahap konsepsi), yaitu tahap atau proses terbentuknya struktur dan kerangka serta kelengkapan-kelengkapan dasar ciptaan maupun potensi-potensi pembawaan manusia (anak), atau potensi fitrah, sehingga tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap pembentukan potensi fitrah.
Pada tahap ini, fungsi kependidikan Islam ialah mempersiapkan segala sesuatu yang memungkinkan dan diperlukan untuk terbentuknya  anak/generasi  baru yang sehat dan memiliki potensi fitrah yang murni dan kuat. Sehingga tugas kependidikan  adalah menjaga dan mengarahkan agar proses penciptaan  generasi baru tersebut secara alami (menurut sunnatullah) dan tidak melanggar batas-batas  dan ketentuan yang Allah tetapkan. Dalam hal ini ada dua ketentuan hukum yang harus diperhatikan, yaitu: (1) hukum yang berhubungan dengan makanan , sebagai pembentuk sel tubuh, dan (2) hukum yang berhubungan dengan pernikahan yang melegalisasi proses pemebentukan janin. Ruang lingkup pendidikan Islam pada tahap ini adalah: pendidikan seksual (gizi dan reproduksi) atau tarbiyah syahwaniyah, pendidikan  kesehatan dan jasmani atau tarbiyah jismiyah, pendidikan fiqh (munakahat).

  1. Tahap Taswiyah (tahap penyempurnaan), yaitu proses tumbuh kembangnya potensi fitrah anak secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna. Dalam tahap ini, secara umum fungsi kependidikan Islam adalah mempersiapkan kondisi dan situasi serta memberikan perlakuan dan tindakan yang diperlukan agar seluruh potensi fitrah  anak dapat tumbuh kembang dan aktual secara fungsional, sehingga anak mampu hidup dalam dan meneyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Untuk itu fungsi kependidikan pada tahap ini meliputi tugas: (1) pemberian dan pemenuhan  segala kebutuhan hidup anak, baik fisik (makan, gerak, istirahat, dan sebagainya) maupun psikhis (rasa aman, kasih saying, dan sebagainya). (2) Pemberian kesempatan dan fasilitas yang seluas-luasnya kepada anak untuk secara intensif mengenal , berkomunikasi, baik fisik, psikhis, social dan budayanya, agar  semua aspek (qalbiyah, aqliyah dan jismiyah) dapat tumbuh kembang. Ruang lingkup pendidikan Islam pada tahap ini adalah  pendidikan keimanan( tarbiyah imaniyah), pendidikan al-quran, Pendidikan ibadah, pendidikan moral (tarbiyah kkhuluqiyah), pendidikan jasmani (tarbiyah jismiyah), pendidikan rasio (tarbiyah aqliyah), pendidikan kejiwaan (tarbiyah nafsiyah), Pendidikan sosial kemasyarakatan (tarbiyah ijtimaiyah) .
  2. Tahap Taqdir (tahap penentuan), yaitu tahap /proses tumbuh kembang potensi individual  yang akan menentukan kapasitas dan kapabilitas  serta kualitas masing-masing, yang sekaligus menunjukkan dan menentukan pembagian bidang tugas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing  dalam kehidupan masyarakat.
Pada tahap ini fungsi kependidikan Islam adalah mempersiapkan  segala kondisi dan situasi serta mmemberikan perlakuan  dan tindakan yang diperlukan agar semua potensi, bakat dan minat individual yang ada pada setiap anak bisa tumbuh kembang secara optimal, dan mengarahkannya secara fungsional pada bidang tugas dan lapangan kerja yang sesuai dengan kapasitas, kapabilitas  dan kualitas masing-masing. Dengan demikian tugas dan ruang lingkup kependidikan Islam pada tahap ini menghendaki pendidikan yang bersifat kejuruan, keahlian dan profesionalisme dalam semua bidang kehidupan.

E.     Hakikat Makna Pembaruan Islam
Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsuddin mengatakan bahwa pembaruan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus kembali substansi tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistik terhadap Islam.
F.      Landasan Bagi Pembaruan Islam
Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan historis.
1.       Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri—bahwa landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang universal —shalih li kulli zaman wa makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan tajdid.
2.       Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam— telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks hadis Nabi.


3.       Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
G.      Perkembangan Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu pelopor pembaharuan dalam dunia islam barat adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah sangat berpengaruh di Abad KE-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahabiyah (1703-1787) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiranya adalah upaya memperbaiki keadan umat Islam dan merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat dikalangan Umat Islam saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.
Adapun aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula yang meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:
1.      Yang harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah dinyatakan Musyrik.
2.      Kebanyakan orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3.      Menyebut nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan syirik.
4.      Meminta syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5.      Bernazar kepada selain Allah juga syirik.
6.      Memperoleh pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
7.      Tidak mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
8.      Menafsirkan Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19 adalah:
1.      Hanya Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
2.      Taklid kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
3.      Pintu ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikiranya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz. Paham-pahamnya tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun 1773 M mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad Abdul Wahab meninggal, namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.

G.     Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Dan pemikiranya
1.      Jamaludin Al afgani (Iran, 1838-turki, 1897)
Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Sayyid Jamaludin Al Afgani. Gagasanya mengilhami kaum muslim di Turki, Iran, Mesir dan India. Meskipun sangat anti imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasan untuk mendirikan sebuah Universitas yang husus mengajarkan ilmu pengetahuan yang modern di Turki mengahdapai tantangan yang kuat dari para ulama’. Pada ahkirnya ia diusir dari Negara tersebut.
2.       Muhamada Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-1935)
Guru dan murid tresebut mengunjungi beberapa negara Eropa dan amat terkesan dengan pengalaman mereka disana. Rasyid Rida mendapat pendidikan Islam tradisisonal dan menguasai bahasa asing ( prancis dan turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk bergabung dengan gerakan pembaruan Al Afgani dan Muhamad Abduh dan diantaranya melalui penerbitan jurnal Al Urwah Al Wustha yang diterbitkan diparis dan disebarkan dimesir. Muhamd Abduh sebagaimana Muhamad Abdul Wahab dan Jamaluddin Al Afgani, berpendapat bahwa masuknya bermacam bid’ah kedalam ajran Islam membuat umat Islam lupa akan ajran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah itulah yang menjauhkan masarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
3.       Toha Husain (Mesir selatan 1889-1973)
Beliau adalah seorang sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan Muhamad Ali Pasya. Ia merupakan pendukungg modernism yang gigih. Pengadopsian terhadap ilmu pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan) nya saja, tetapi juga sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi. Pendanganya dianggap sekularis karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4.       Sayyid Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al qardawi
Al Qardawi menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi yag dimaksud bukan berarti upaya pembaratan dan memiliki batasan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern serta penerapan teknologiny, Islam tidak menolaknya bahkan mendukungnya. Pandangan al Qardawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas kaum muslmin. Secara umum dunia Islam relative terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan ini kelak terbukti dan tetap bertahan hingga kini dikalangan muslim. Akan tetapi, dikalangan pemikir yang ,mempelajari sejarah dan filsafat ilmu  pengetahuan, gagasan seperti ini tidak cukup memuaskan mereka.
5.       Sirsayid Ahmad Khan (India 18817-1898)
Sirsayid Ahmad Khan adalah pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, berbeda dengna al Afgani ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu antara lain, penjelasan mengenai suatu peeristiwa dengan sebab-sebab yang bersifat fisik materiil. Di barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari tahayul dan cengkraman kekuasaan gereja. Kini dengan semangat yang sama Ahmad Khan merasa wajib membeabaskan kaum muslim dengan melenyapkan unsur yang tidak ilmiah dari pemahaman terhadap Al qur’an. Ia amat serius dengan upaya ini, antara lain: menciptakan sendiri metode baru penafsiran Al qur’an. Hasilnya adalah teologi yang memilki karakter atau sifat ilmiah dalam tafsir Al qur’an.
6.       Sir Muhamad Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi awal ke-20 adalah Sir Muhamdad Iqbal marupakan seorang muslim pertama di anak benua India yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan memilki latar belakang yang bercorak tradisisonal islam. Kedua hal ini muncul dari karya utama di tahun 1930 yang berjudul the reconstruction of religious thought in islam (pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam)
H.      Tujuan Pembaruan dalam Islam
Berbicara mengenai tujuan pembaruan Islam, maka tidak dapat dilepaskan dari misi yang diemban oleh gerakan tersebut. Menurut Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam memiliki dua misi ganda, yaitu misi purifikasi, dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan jaman.
Bertitik-tolak dari kedua misi di atas, maka tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah: Pertama, purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman Nabi sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu puncak yang luar-biasa dan cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang. Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena kurang sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam sesuai semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang masuk dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya ini dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai bentuk ritual dari pengaruh sesat.
Kedua, menjawab tantangan jaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu agama yang di dalamnya terkandung berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman. Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan pembaruan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.
I.       Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode pokok untuk berjalannya gerakan pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu berlebihan karena pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial, dan semua itu memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak menyimpang dari ajaran Islam sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam dapat terwujud dan teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan kehancuran. Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus berkembang.
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang selama ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai sebagai upaya untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran modern.36 Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang selalu digelorakan oleh para pembaru (mujaddidun).



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan penting sebagai berikut: Pertama, pembaruan Islam (tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat jaman. Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.
Kedua, keharusan bagi upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan dasar yaitu landasan teologis, landasan normatif, dan landasan historis. Artinya bahwa gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang kuat.
Ketiga, agar tajdid dalam Islam dapat terimplementasikan dan teraktualisasikan, maka ijtihad harus dijalankan karena tajdid dan ijtihad hakikatnya merupakan dua hal yang saling terkait.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. The Religion of Islam. Kairo: The Arab Writer Publisher & Printers, t.t.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
CD Room Mausu’ah Al-Hadits Al-Syarif.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Mohammadenism: A Historical Survey. New York: A Galaxy Book, 1962.
Idris, Zulbadri. “Pembaharuan Islam Sebelum Periode Modern”, dalam Jurnal Media Akademika, No. 49. Tahun XIV/1998.
Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun 1995.
Tradisi Tajdid dalam Sejarah Islam (bagian kedua), dalam Suara Muhammadiyah, No. 06/80/1995.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Azra ,Azyumardi, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru ,Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002.
Jalaluddin,Teologi Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, 2002.
Mujib ,Abdul dan Jusuf Mudzakir,Nuansa-nuansa psikologi Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.
Tadjab, et al, Dasar-dasar Kependidikan Islam ,Surabaya:Karya Aditama,1996.

[1] Tadjab, et al,Dasar-dasar Kependidikan Islam (Surabaya:Karya Aditama,1996), hal. 1.

[2] Ibid.,hal.2.

[3] Jalaluddin,Teologi Pendidikan(Jakarta:Raja Grafindo Perkasa,2002) hal. 2.

[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 69-78.

[5] Ibid ,hal 100.

[6] Jalaluddin, op. cit.h. 3.

[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa psikologi Islam(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2001), hal.70-73

[8] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar,Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Ciputat Press,2005), hal. 23

[9] Tadjab, et al,. op. cit.h. 62-66..

Related Posts:

0 Response to "makalah tokoh dan aliran pendidikan modern "

Post a Comment