MAKALAH DASAR DASAR PENDIDIKAN
Tokoh , Aliran Dan Pemikiran Pendidikan Modern Dan Islam
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Dasar Dasar Pendidikan
Disusun oleh :
Jajang Komar
Rina Pathonah
Rini andriani
FAKULTAS TARBIYAH
STAI YAPATA ALJAWAMI
2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah
SWT, Dzat yang menjadi sumber segala kebaikan dan kesempurnaan. Atas kasih
sayang, petunjuk dan pertolongan-Nya, akhirnya saya peribadi dapat
menyelasaikan makalah ini. Semoga shalawat dan salam semoga selalu tercurah
limpahkan panutan umat manusia baginda Rasulullah saw, kaluarganya, para
shahabatnya dan seluruh umatnya.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu
upaya untuk memenuhi tugas Dasar Dasar Pendidikan Yang Berjudul Tokoh, Aliran
Dan Pemikiran Pendidikan Modern Dan Islam, mudah – mudahan kehadiran makalah
ini dapat menambah khazanah tentang pemikiran orang-orang liberal dan
fundamental di Indonesia.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab pada beberapa bagian dalam kajian
makalah ini masih banyak menyisakan banyak persoalan yang penting untuk
diselesaikan dan tidak menutup kemungkinan mengandung kekurangan dan kekeliruan
dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh sebab itu saran atau masukan
dari berbagai pihak dalam rangka untuk melengkapi dan memperbaiki berbagai
kekeliruan dan kekurangan dalam tulisan ini merupakan sesuatu yang sangat
dinantikan.
Kepada semua pihak yang telah membantu, kami
ucapkan terimakasih, semoga Allah membalas semua kebaikan kita semua.
Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.
Bandung, 23 November 2016
Rini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Terpuruknya
nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak
lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus
diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan
dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah
mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis
besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam.
Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang
sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam
rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan
beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat
juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling
tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar
secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini
dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah
ini, kami lebih menekankan pada makna pembaharuan beserta landasan dan tujuan
pembaharuan Islam.
B. Pembatasan
Masalah
Dalam penulisan
makalah ini, kami membatasi masalanya sebagai berikut :
4. Hakikat
Makna Pembaruan Islam
5. Landasan
Bagi Pembaruan Islam
6. Perkembangan
Ajaran Islam pada Masa Pembaruan
7. Tokoh-tokoh
Pembaruan Islam dan Pemikiranya
8. Tujuan
Pembaruan dalam Islam
9. Ijtihad
sebagai Kunci Pembaruan Islam
C. Tujuan
penulisan makalah
Sesuai dengan
permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini
diarahkan untuk mengetahui :
1. Hakikat
Makna Pembaruan Islam
2. Landasan
Bagi Pembaruan Islam
3. Perkembangan
Ajaran Islam pada Masa Pembaruan
4. Tokoh-tokoh
Pembaruan Islam dan Pemikiranya
5. Tujuan
Pembaruan dalam Islam
6. Ijtihad
sebagai Kunci Pembaruan Islam
D. Sistematika
penulisan
Sebagai langkah
akhir dalam penulisan makalah ini, maka klasifikasi sistematika penulisannya
sebagai berikut :
Bab I :
Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan
penulis, dan sistematika penulis.
Bab II :
Membahas tentang Hakikat Makna Pembaruan Islam, Landasan Bagi Pembaruan
Islam, Perkembangan Ajaran Islam, Masa Pembaruan dan Tokoh-tokoh Pembaruan
Islam dan Pemikiranya Tujuan Pembaruan dalam Islam, dan Ijtihad sebagai Kunci
Pembaruan Islam.
Bab
III : Merupakan bab
terakhir dalam penulisan bab ini yang berisikan tentang Kesimpulan dan Daftar
Pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam
Secara etimologi pemikiran berasal dari kata dasar pikir, berarti proses, cara atau perbuatan memikir yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dalam konteks ini pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana sedangkan pendidikan, secara umum berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia (peserta didik),melalui upaya pengajaran dan latihan. Serta proses perbuatan dan cara-cara mendidik. Dengan berpijak pada definisi diatas. maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan (menurut) Islam adalah suatu pandangan yang didasari pengertian bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai- nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah[1]. Dalam hal ini pendidikan menurut Islam, dapat dipahami sebagia ide-ide, konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma kependidikan, sebagaimana yang dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari sumber otentik ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan (dalam) Islam berdasarkan sudut pandang, bahwa Islam adalah ajaran-ajaran, sestem budaya dan peradaban yang tumbuh dan berkembang serta didukung oleh umat Islam sepanjang sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sampai masa sekarang. Dari sini kita dapat pahami bahwa pendidikan dalam Islam adalah “proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan dikalangan umat Islam yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam rentangan sejarah Islam”.[2]
Pendidikan Islam dalam arti penyelenggara lembaga pendidikan Islam adalah pendidikan yang diselengaraka oleh individu, organisasi massa Islam, yayasan dan sebagainya seperti al-Khaerat, DDI, Muhammadiyah, NU dll.
Pendidikan Islam dalam arti pewarisan ajaran Islam, dalam kenyataan dapat dilihat dari pendekatan kurikulum, maka yang dimaksud dengan pendidkan Islam adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab hanya di kedua kelembagaan inilah kurikilum agama Islam dilaksanakan secara utuh. Kurikulum dikedua lembaga tersebut hanya terdiri dari ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, serta kitab-kitab Islam klasik. Kementrian Agama juga menyelenggarakan pendidikan dengan lembaganya yaitu jenjang pendidikan rendah (madrasah ibtidaiyah), menengah (madrasah tsanawiyah dan aliyah), dan perguruan tinggi (Institut Agama Islam dan Sekolah tinggi agama Islam), Yang kurikulumnya adalah asimilasi kurikulum sekolah umum sepenuhnya dan ilmu-ilmu Islam ( Bahasa arab, fiqh, Aqidah Ahlaq, Al-Qur’an hadis, dan ski).
Pendidikan Islam di Indonesia sangat beragam, menurut Karel Adrian Steenbrink perubahan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia atas dasar kebutuhan zamannya.[3]
Hal tersebut juga tergambar dalam pergulatan pemikiran pendidikan antara mempertahankan pola lama yang asli (pondok pesantren) yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam klasik dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan sains dengan melakukan pembaharuan diberbagai bidang.
Alasan pembaharuan yang mengarah pada muatan kurikulum, bentuk lembaganya menghasilkan bentuk-bentuk lembaga seperti; madrasah, sekolah Islam[4] dan pondok pesantern yang memasukkan ilmu-ilmu umum (sains) bahkan pondok modern gontor mewajibkan santri secara aktif dapat menguasai bahasa inggris[5], tentu hal ini dimaksud mengejar ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa eropa yang didukung oleh kemampuan dalam bidang sains dan teknologi dengan berusaha tidak sampai kehilangan jati diri sebagai muslim.
Pedidikan Islam modern menurut Hasan Langgulung mengacu pada dua pola , yaitu bersifat asimilatif dan adoftif. Pola pertama dilakukan dengan cara mengasimilasi sisitem pendidikan Islam dengan system pendidikan barat, sedang yang kedua adalah dengan mengadobsi system pendidikan barat kedalam system pendidikan Islam.[6] Perubahan seperti ini menurut winarno Surachmad merupakan perubahan yang bersifat meliorisme, maksudnya bahwa perubahan dibidang pendidikan belum menyentuh perubahan yang mendasar.
Untuk mendefinisikan pendidikan Islam perlu mengkaji kembali pendidikan Islam pada tataran ontologis agar dapat melakukan perumusan dan jati diri pendidikan Islam dalam arti pendidikan (menurut) Islam, hal ini penting untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan dalam melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam, sebagaiman terlihat dalam beragamnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengatasnamakan pendidikan Islam. Dilain pihak hal ini juga penting untuk membedakan dengan konsep pendidikan barat yang jelas-jelas berangkat dari filsafat sekuler yang berpusat pada antroposentris (kafir)[7] yang nyata-nyata bertentangan dengan konsep tauhid Islam yang harus menjadi kerangka seluruh usaha pendidikan menjadikan manusia mukmin.
Karena obyek dan subyek pendidikan adalah manusia , maka pencarian makna realitas penciptaan manusia (tataran ontology) menurut Islam harus dirumuskan dengan pendekatan yang juga telah baku dalam tradisi Islam (metode deduktif) yaitu,
Secara etimologi pemikiran berasal dari kata dasar pikir, berarti proses, cara atau perbuatan memikir yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dalam konteks ini pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana sedangkan pendidikan, secara umum berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia (peserta didik),melalui upaya pengajaran dan latihan. Serta proses perbuatan dan cara-cara mendidik. Dengan berpijak pada definisi diatas. maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan (menurut) Islam adalah suatu pandangan yang didasari pengertian bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai- nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah[1]. Dalam hal ini pendidikan menurut Islam, dapat dipahami sebagia ide-ide, konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma kependidikan, sebagaimana yang dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari sumber otentik ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pendidikan Islam dalam tafsir pendidikan (dalam) Islam berdasarkan sudut pandang, bahwa Islam adalah ajaran-ajaran, sestem budaya dan peradaban yang tumbuh dan berkembang serta didukung oleh umat Islam sepanjang sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sampai masa sekarang. Dari sini kita dapat pahami bahwa pendidikan dalam Islam adalah “proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan dikalangan umat Islam yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam rentangan sejarah Islam”.[2]
Pendidikan Islam dalam arti penyelenggara lembaga pendidikan Islam adalah pendidikan yang diselengaraka oleh individu, organisasi massa Islam, yayasan dan sebagainya seperti al-Khaerat, DDI, Muhammadiyah, NU dll.
Pendidikan Islam dalam arti pewarisan ajaran Islam, dalam kenyataan dapat dilihat dari pendekatan kurikulum, maka yang dimaksud dengan pendidkan Islam adalah pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab hanya di kedua kelembagaan inilah kurikilum agama Islam dilaksanakan secara utuh. Kurikulum dikedua lembaga tersebut hanya terdiri dari ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, serta kitab-kitab Islam klasik. Kementrian Agama juga menyelenggarakan pendidikan dengan lembaganya yaitu jenjang pendidikan rendah (madrasah ibtidaiyah), menengah (madrasah tsanawiyah dan aliyah), dan perguruan tinggi (Institut Agama Islam dan Sekolah tinggi agama Islam), Yang kurikulumnya adalah asimilasi kurikulum sekolah umum sepenuhnya dan ilmu-ilmu Islam ( Bahasa arab, fiqh, Aqidah Ahlaq, Al-Qur’an hadis, dan ski).
Pendidikan Islam di Indonesia sangat beragam, menurut Karel Adrian Steenbrink perubahan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia atas dasar kebutuhan zamannya.[3]
Hal tersebut juga tergambar dalam pergulatan pemikiran pendidikan antara mempertahankan pola lama yang asli (pondok pesantren) yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam klasik dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan sains dengan melakukan pembaharuan diberbagai bidang.
Alasan pembaharuan yang mengarah pada muatan kurikulum, bentuk lembaganya menghasilkan bentuk-bentuk lembaga seperti; madrasah, sekolah Islam[4] dan pondok pesantern yang memasukkan ilmu-ilmu umum (sains) bahkan pondok modern gontor mewajibkan santri secara aktif dapat menguasai bahasa inggris[5], tentu hal ini dimaksud mengejar ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa eropa yang didukung oleh kemampuan dalam bidang sains dan teknologi dengan berusaha tidak sampai kehilangan jati diri sebagai muslim.
Pedidikan Islam modern menurut Hasan Langgulung mengacu pada dua pola , yaitu bersifat asimilatif dan adoftif. Pola pertama dilakukan dengan cara mengasimilasi sisitem pendidikan Islam dengan system pendidikan barat, sedang yang kedua adalah dengan mengadobsi system pendidikan barat kedalam system pendidikan Islam.[6] Perubahan seperti ini menurut winarno Surachmad merupakan perubahan yang bersifat meliorisme, maksudnya bahwa perubahan dibidang pendidikan belum menyentuh perubahan yang mendasar.
Untuk mendefinisikan pendidikan Islam perlu mengkaji kembali pendidikan Islam pada tataran ontologis agar dapat melakukan perumusan dan jati diri pendidikan Islam dalam arti pendidikan (menurut) Islam, hal ini penting untuk menghindari ketimpangan-ketimpangan dalam melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam, sebagaiman terlihat dalam beragamnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengatasnamakan pendidikan Islam. Dilain pihak hal ini juga penting untuk membedakan dengan konsep pendidikan barat yang jelas-jelas berangkat dari filsafat sekuler yang berpusat pada antroposentris (kafir)[7] yang nyata-nyata bertentangan dengan konsep tauhid Islam yang harus menjadi kerangka seluruh usaha pendidikan menjadikan manusia mukmin.
Karena obyek dan subyek pendidikan adalah manusia , maka pencarian makna realitas penciptaan manusia (tataran ontology) menurut Islam harus dirumuskan dengan pendekatan yang juga telah baku dalam tradisi Islam (metode deduktif) yaitu,
1.
Pendekatan kewahyuan (al-Qur’an
dan al-Hadis) dari sisi tekstual dan kontekstual.
2.
Empirik keilmuan dan
rasional filosofis yang hanya di gunakan untuk menalar pesan-pesan
Tuhan yang absolute, baik melalui ayat-ayatnya yang bersifat tekstual
(al-Qur’an dan al-Hadis), maupun ayat-ayatnya yang bersifat
kontekstual(kauniyah).[8]
Pendekatan-pendekatan
di atas berangkat dari kebenaran berpusat pada Tuhan (teosentris), sarat etik,
yang berbeda sekali dengan konsep barat sekuler), netral etik, kebenaran
berpusat pada manusia (antroposentris). Demikian pula titik berangkatnya
pendekatan Islam dari suatu kebenaran yang diyakini (diimani) yang berbeda
sekali dengan konsep barat (sekuler), titik berangkatnya dari ketidak percayaan.
B. Tujuan Pemikiran Pendidikan Islam
Secara khusus pemikiran pendidikan islam memiliki tujuan sangat komplek diantaranya adalah :
- Untuk membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis dan kritis terhadap
persoalan-persoalan di seputar pendidikan islam.
- Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran islam dan
akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh
intelektual diluar islam.
- Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditujukan oleh
Rosulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad
pertengahan, terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan islam yang
lebih baik.
- Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem
pendidikan nasional.
Munculnya dinamika pembaharuan pemikiran pendidikan yang dilakukan sejumlah intelektual muslim dari masa ke masa, tidak terlepas dari kondisi objektif sosial-budaya dan sosial keagamaan umat islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa dinamika pemikiran intelektual muslim merupakan hasil refleksi terhadap kondisi umat islam pada zamannya. Sederetan intelektual muslim, sejak masa awal sampai pada era posmodernisme telah berupaya merekonstruksi guna terciptanya sistem pendidikan islam yang ideal. kelompok intelektual muslim tersebut antara lain adalah :
1. Ibnu Maskawih (Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawih), lahir di rayy sekitar tahun 320 H./ 432 M. dan meninggal di isfaham pada tanggal 9 safar buwaihi yang berlatarbelakang mazhab syi’ah. Perhatiannya dalam menuntut ilmu sangat besar. Hal ini tercermin dari bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bidang sejarah umpamanya, ia belajar dengan Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-qadhi, filsafat dengan ibn al-khammar, dan kimia dengan Abu Thayyib. Pemikirannya tentang pendidikan lebih berorientasi pada pentingnya pendidikan akhlak. hal ini tercermin dari karya monumentalnya, Tahzib al-akhlaq. melalui karya tersebut Miaskawih menyetakan bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya sikap batin yang secara spontan mampu mendorong lahirnya perilaku dalam memperoleh kerimah-perilaku yang demikian akan sangat membantu peserta didik dalam memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan yang sejati.
2. Ibn Sina (Abu Ali al-Husaiyn ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Sina) lahir pada tahun 370/ 980 di asyanah, Bukhara (dalam peta modern masuknya Turkistan) ia wafat oleh penyakit disentri pada tahun 428/1037 dan dimakamkan di Hamadan (sekarang dalam wilayah Iran). Hasil pemikiran dari Ibn Sina diantaranya: Falsafah wujud, Falsafah Faidh, Falsafah Jiwa
3. Ibn Khaldum (Waliuddin Abdurrahman bin Muhamad bin Muhammad bin Hasan bin Jobir bin Muhammad binIbrahin bin Abdurrahman bin Walid bin Usman) lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 406 M. Diantara stressing ruint pemikiran Khaldum adalah pada bidang pendidikan islam dalam melaksanakan pendidikan, maka menurut Khaldum paling tidak ada dua tujuan yang perlu disentuh yaitu jasmaniah dan rohaniah.
4. Muhammad Abduh ibn hasan Khairuddin, lahir pada tahun 1265 H/ 1849 M. Pada sebuah desa dipropinsi Gharbuyyah-ia lahir dari lingkungan petani sederhana yang taat dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Menurut Abduh metode yang kuno sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dewasa ini, sebab metode tersebut menurut tumbuhnya daya peserta didik dalam bukunya al- a’mal al-kamila Abduh menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik. Metode yang di maksud adalah metode diskusi.
5. Ismail raji al faruqi, lahir di Sayfa (palestina) pada tanggal 1 Januari 1921. Ia meninggal pada tanggal 1986. latar belakang pendidikannya ditempuh pada pendidikan barat yaitu Colege Des Peres (1936). Kemudian pendidikan pasca sarjana mudanya ia rampungkan pada America University (1941). Kemuudian program magisternya pada Indian University dan harvard University dalam bidang filsafat. sedangkan gelar doktor ia peroleh pada indian university dalam bidang yang sama. Menurut analisis al-faruq umat islam saat ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan lemah, baik secara moral, politik, dan ekonomi terutama komunitas intelektual dalam wacana keagamaan, umat islam terbelenggu oleh Khurafal, kondisi ini membuat umat islam taqlid yang berlebihan terutama dalam aspek syariat. Kondisi ini membuat umat islam berada dalam kondisi statis dan enggan melakukan kreativitas, ijtihad.
6. Syed Muhammad Waquib al-attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Paradigma pemikiran al-attas bila diaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berasal dari dunia metafisika kemudian kedunia kosmologis dan mermuara pada dunia psikologis, perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikan andil yang yang sangat besar dalam pembentukan paradigma pemikiran selanjutnya.
C. Model Pemikiran Pendidikan Islam
Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adanya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:
Pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam.
Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.
Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:
1. Tekstualis Salafi
Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.
2. Tradisionalis Mazhabi
Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.
Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Modernis
Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.
4. Neo Modernis
Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.
Oleh karena itu pengembangan pemikiran pendidikan dalam Islam tidak dilakukan dengan mendikotomikan pendidikan, antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Islam tidak mengajarkan pengikutnya untuk memilah-milah ilmu pengetahuan, karena semua ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya bagian dari sunatullah dan tunduk pada ketentuan Allah swt.
Gagasan untuk melakukan islamisasi sains tidak dilakukan secara revolusi, tapi dikembangkan secara evolusi dan bertahap. Dengan catatan bahwa sebelumnya sudah dipersiapkan berbagai sarana pendukung, baik kurikulum, proses pembelajaran, system evaluasi, media pembelajaran sampai pada tatakelola pendidikan.
Melalui Mata kuliah pemikiran pendidikan Islam ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan analisis kritis dan histories terhadap berbagai pemikiran pendidikan Islam dan mencoba melihat aspek epistemologis bangunan pemikirannya dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang relevan pada masanya baik social politik dan ideology maupun gerakan intelektual dan problem kebudayaan pada suatu masa dan masa-masa lainnya, serta mencoba membuat analisis reflektif terhadap kondisi yang berkembang saat ini.
D. Ruang Lingkup Pemikiran Pendidikan Islam
Merujuk pada hakekat pendidikan Islam yang tidal lain adalah realisasi fungsi rububiyah Allah terhadap manusia dalam rangka menyiapkan dan membimbing serta mengarahkanya, agara nantinya mampu melaksanakan tugas kekhalifahan sekaligus abd dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, maka sudah menjadi tugas dan tanggung jawab manusia (orang tua dan generasi tua pada umumnya) untuk melaksanakan tugas tersebut yang meliputi empat cakupan yang menjadi ruang lingkup pendidikan Islam.[9]
- Tahap Takhliq (tahap konsepsi), yaitu tahap atau proses terbentuknya
struktur dan kerangka serta kelengkapan-kelengkapan dasar ciptaan maupun
potensi-potensi pembawaan manusia (anak), atau potensi fitrah, sehingga
tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap pembentukan potensi fitrah.
Pada tahap ini, fungsi
kependidikan Islam ialah mempersiapkan segala sesuatu yang memungkinkan dan
diperlukan untuk terbentuknya anak/generasi baru yang sehat dan
memiliki potensi fitrah yang murni dan kuat. Sehingga tugas kependidikan
adalah menjaga dan mengarahkan agar proses penciptaan generasi baru tersebut
secara alami (menurut sunnatullah) dan tidak melanggar batas-batas dan
ketentuan yang Allah tetapkan. Dalam hal ini ada dua ketentuan hukum yang harus
diperhatikan, yaitu: (1) hukum yang berhubungan dengan makanan , sebagai
pembentuk sel tubuh, dan (2) hukum yang berhubungan dengan pernikahan yang
melegalisasi proses pemebentukan janin. Ruang lingkup pendidikan Islam pada
tahap ini adalah: pendidikan seksual (gizi dan reproduksi) atau tarbiyah
syahwaniyah, pendidikan kesehatan dan jasmani atau tarbiyah jismiyah,
pendidikan fiqh (munakahat).
- Tahap Taswiyah (tahap penyempurnaan), yaitu proses tumbuh kembangnya
potensi fitrah anak secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna.
Dalam tahap ini, secara umum fungsi kependidikan Islam adalah
mempersiapkan kondisi dan situasi serta memberikan perlakuan dan tindakan
yang diperlukan agar seluruh potensi fitrah anak dapat tumbuh
kembang dan aktual secara fungsional, sehingga anak mampu hidup dalam dan
meneyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Untuk
itu fungsi kependidikan pada tahap ini meliputi tugas: (1) pemberian dan
pemenuhan segala kebutuhan hidup anak, baik fisik (makan, gerak, istirahat,
dan sebagainya) maupun psikhis (rasa aman, kasih saying, dan sebagainya).
(2) Pemberian kesempatan dan fasilitas yang seluas-luasnya kepada anak
untuk secara intensif mengenal , berkomunikasi, baik fisik, psikhis,
social dan budayanya, agar semua aspek (qalbiyah, aqliyah dan
jismiyah) dapat tumbuh kembang. Ruang lingkup pendidikan Islam pada tahap
ini adalah pendidikan keimanan( tarbiyah imaniyah), pendidikan
al-quran, Pendidikan ibadah, pendidikan moral (tarbiyah kkhuluqiyah),
pendidikan jasmani (tarbiyah jismiyah), pendidikan rasio (tarbiyah
aqliyah), pendidikan kejiwaan (tarbiyah nafsiyah), Pendidikan sosial
kemasyarakatan (tarbiyah ijtimaiyah) .
- Tahap Taqdir (tahap penentuan), yaitu tahap /proses tumbuh kembang
potensi individual yang akan menentukan kapasitas dan kapabilitas
serta kualitas masing-masing, yang sekaligus menunjukkan dan menentukan
pembagian bidang tugas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing
dalam kehidupan masyarakat.
Pada tahap ini fungsi
kependidikan Islam adalah mempersiapkan segala kondisi dan situasi serta
mmemberikan perlakuan dan tindakan yang diperlukan agar semua potensi,
bakat dan minat individual yang ada pada setiap anak bisa tumbuh kembang secara
optimal, dan mengarahkannya secara fungsional pada bidang tugas dan lapangan
kerja yang sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan kualitas
masing-masing. Dengan demikian tugas dan ruang lingkup kependidikan Islam pada
tahap ini menghendaki pendidikan yang bersifat kejuruan, keahlian dan
profesionalisme dalam semua bidang kehidupan.
E. Hakikat
Makna Pembaruan Islam
Dalam kosakata
“Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah
yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme,
reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata
tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau
pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai
“pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama
mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan
kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum
muslimin.
Berkaitan hal
tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan
dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah
dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih
berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar
sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini,
maka dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam
perkembangan sosial.
Senada dengan
hal di atas, Din Syamsuddin mengatakan bahwa pembaruan Islam merupakan
rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam
kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi
mengandung arti sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan
lambang-lambang, sedangkan kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya
pengaitan substansi tersebut dengan pelataran sosial-budaya tertentu dan
penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus kembali substansi
tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat
disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas)
Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan
lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai
tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses substansiasi, pembaruan
Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistik terhadap Islam.
F. Landasan
Bagi Pembaruan Islam
Sebagaimana
diuraikan di awal tulisan ini bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan
bagi upaya aktualisasi dan kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini,
maka persoalan yang perlu dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan
pijakan (landasan) atau pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam
(tajdid). Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya
pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
1. Landasan
Teologis
Menurut Achmad
Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum
muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis yang mendorong munculnya
berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad
Jainuri—bahwa landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan,
yaitu:
Pertama,
keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai
agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat
bagi seluruh alam. Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang
mencakup semua aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia,
baik berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min
al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan
dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah
hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di
akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan
duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep
universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap
waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab
dalam tingkat yang sama, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat,
masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme
itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme
Islam juga memiliki makna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai
dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang
sifatnya universal itu diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar
sesuai dengan segala tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam
yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau
diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan
hal di atas, Din Syamsudin mengatakan bahwa watak universalisme Islam
meniscayakan adanya pemahaman selalu baru untuk menyikapi perkembangan
kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam yang universal —shalih li kulli
zaman wa makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks
dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik
temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat Islam yang rahmah li
al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat jaman, yaitu
kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya
juga dikatakan bahwa pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat
tergantung kepada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong
kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa
keuniversalan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru
karena mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika
modernisasi.
Kedua,
keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau
finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul Allah. Dalam
keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah agama akhir
jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca Islam sudah
tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa sebagai
agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna dan
lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang diturunkan
sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap, sempurna, dan mencakup
segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang terlupakan dalam al-Qur’an.
Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi
akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan lahir (diutus) lagi seorang
pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah yang dibawa Muhammad diyakini
sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad
Jainuri bahwa keyakinan akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami
bahwa berhentinya fungsi kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan
kepada umat manusia. Kondisi ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi
ke-Nabi-an Muhammad selesai, secara fungsional, peran ulama dipandang sangat
penting untuk memelihara dinamika ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah
berlebihan karena ulama adalah pewaris para nabi (al’ulama’ waratsah
al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul para mujaddid yang secara
fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw
sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan perkataan lain bahwa
kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga Muhammad melalui para
Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para mujaddid yang secara
institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran serta gerakan
tajdid.
2. Landasan
Normatif
Landasan
normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari
teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang
dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara
jelas mengandung muatan bagi keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat
al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang
dahulu”, Ayat lainnya adalah surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada
dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di
atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi
mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar
mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian,
maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan
itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah
dinamika sejarah.
Sementara itu,
dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah
akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan
memperbarui (pema-haman) agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para
pakar terdapat perbedaan interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli
mi’ati sanah (setiap awal abad) ini berkaitan dengan saat munculnya
sang mujaddid. Sebagian lain mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini
sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya hanya
menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan
tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka —yang
disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam— telah meninggal dunia pada
awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini,
maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan menyatakan
bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad yang dimaksud.
Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai awal abad),
yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif dalam teks
hadis Nabi.
3. Landasan
Historis
Di awal
perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas
pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan
dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya berkata: “sami’na wa
atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun
geografis menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu
mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu
kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya,
terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam
dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi
peradaban dunia yang cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M,
di masa inilah, ilmu pengetahuan ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik
dalam bidang agama maupun dalam bidang non agama. Di jaman itu pula para
pemikir muslim dihasilkan. Mereka telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan
ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui
kurun waktu lebih kurang lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah
kemajuan Islam mengalami kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan
mengalami kemunduran. Masa demi masa kemundurannya semakin terasa. Pintu
ijtihad dinyatakan tertutup digantikan dengan taklid yang merajalela sampai
menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun
demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana dalam suasana seperti
digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn
Taimiyah telah tampil membendung-nya (melakukan pembaruan).
Pembaruan yang
dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu,
sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang
cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang
sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu
dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
serta memahaminya. Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca
Ibnu Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami
beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks
waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan
gerakan pembaharuan pada masa modern.
Gerakan
pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada
abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat
jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian
menginsafkan umat Islam tentang rendahnya kebudayaan dan peradaban yang
dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun
gerakan pembaruan Islam secara garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade
yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi
sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang
dilancarkan pada abad tersebut pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang
sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah yang dipandang sebagai bapak tajdid,
yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut mengedepankan rekontruksi sosio-moral
masyarakat Islam sekaligus melakukan koreksi sufisme yang terlalu menekankan
individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya
karakteristik yang sama pada gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern
maupun modern tersebut, dapat dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad
Sirhindi telah meletakan dasar teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah,
juga menekankan pelaksanaan ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian gerakan wahabiah pada abad XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul
Wahab dipandang lebih radikal dan tidak mengenal kompromi terhadap semua
pengaruh yang “non Islam” terhadap amal ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga
muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah Waliyullah di India abad XVIII M,
juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam
sikapnya terhadap ajaran sufi yang menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan
pendahulunya, gerakan Shah Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial
politik, di mana ia menentang ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat,
mengkritik beban pajak yang ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum
muslimin untuk menegakkan sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke
dalam bentuk sebuah kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan
pembaruan pra-modern dengan dasar “kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta
ijtihad” sebagaimana di atas, juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern
(abad XIX dan XX M). Sebagai misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan
dicetuskan oleh Muhammad Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu:
pertama, pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang
tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi
Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat
pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan
serangan-serangan Eropa.
Apa yang
dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan
era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh
hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan
dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan
dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan
modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang
digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat
al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan
kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara
sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas
menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan normatif,
secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis
dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar
historis yang kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam
kini dan yang akan datang.
G. Perkembangan
Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu
pelopor pembaharuan dalam dunia islam barat adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah sangat berpengaruh di Abad KE-19. Pelopornya adalah Muhammad Abdul
Wahabiyah (1703-1787) yang berasal dari Nejed, Saudi Arabia. Pemikiranya adalah
upaya memperbaiki keadan umat Islam dan merupakan reaksi dari paham tauhid yang
terdapat dikalangan Umat Islam saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah
tercampur dengan ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.
Adapun aliran
yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta pertolongan
atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula yang meminta
pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan
ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik
karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid
merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan
ini.
Adapun
pokok-pokok pemikiranya adalah:
1. Yang
harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah
dinyatakan Musyrik.
2. Kebanyakan
orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau
kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3. Menyebut
nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan
syirik.
4. Meminta
syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5. Bernazar
kepada selain Allah juga syirik.
6. Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
7. Tidak
mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
8. Menafsirkan
Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk
mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi
dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada
paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul
Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad
ke-19 adalah:
1. Hanya
Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat
ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
2. Taklid
kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
3. Pintu
ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul
Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha mewujudkan pemikiranya. Ia
mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz.
Paham-pahamnya tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun
1773 M mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad Abdul
Wahab meninggal, namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran
yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
G. Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam Dan pemikiranya
1. Jamaludin
Al afgani (Iran, 1838-turki, 1897)
Salah satu
sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Sayyid Jamaludin Al Afgani.
Gagasanya mengilhami kaum muslim di Turki, Iran, Mesir dan India. Meskipun
sangat anti imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan
Barat. Ia tidak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan.
Namun, gagasan untuk mendirikan sebuah Universitas yang husus mengajarkan ilmu
pengetahuan yang modern di Turki mengahdapai tantangan yang kuat dari para
ulama’. Pada ahkirnya ia diusir dari Negara tersebut.
2. Muhamada
Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-1935)
Guru dan murid
tresebut mengunjungi beberapa negara Eropa dan amat terkesan dengan pengalaman
mereka disana. Rasyid Rida mendapat pendidikan Islam tradisisonal dan menguasai
bahasa asing ( prancis dan turki) yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari
ilmu pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk
bergabung dengan gerakan pembaruan Al Afgani dan Muhamad Abduh dan diantaranya
melalui penerbitan jurnal Al Urwah Al Wustha yang diterbitkan diparis dan
disebarkan dimesir. Muhamd Abduh sebagaimana Muhamad Abdul Wahab dan Jamaluddin
Al Afgani, berpendapat bahwa masuknya bermacam bid’ah kedalam ajran Islam
membuat umat Islam lupa akan ajran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah itulah
yang menjauhkan masarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
3. Toha
Husain (Mesir selatan 1889-1973)
Beliau adalah
seorang sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan Muhamad Ali Pasya.
Ia merupakan pendukungg modernism yang gigih. Pengadopsian terhadap ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan) nya
saja, tetapi juga sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi.
Pendanganya dianggap sekularis karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4. Sayyid
Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al qardawi
Al Qardawi
menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi yag dimaksud
bukan berarti upaya pembaratan dan memiliki batasan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan
modern serta penerapan teknologiny, Islam tidak menolaknya bahkan mendukungnya.
Pandangan al Qardawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas kaum muslmin.
Secara umum dunia Islam relative terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan
teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan ini kelak
terbukti dan tetap bertahan hingga kini dikalangan muslim. Akan tetapi,
dikalangan pemikir yang ,mempelajari sejarah dan filsafat ilmu
pengetahuan, gagasan seperti ini tidak cukup memuaskan mereka.
5. Sirsayid
Ahmad Khan (India 18817-1898)
Sirsayid Ahmad
Khan adalah pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al
afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Akan
tetapi, berbeda dengna al Afgani ia melihat adanya kekuatan yang membebaskan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu antara lain,
penjelasan mengenai suatu peeristiwa dengan sebab-sebab yang bersifat fisik
materiil. Di barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari tahayul dan
cengkraman kekuasaan gereja. Kini dengan semangat yang sama Ahmad Khan merasa
wajib membeabaskan kaum muslim dengan melenyapkan unsur yang tidak ilmiah dari
pemahaman terhadap Al qur’an. Ia amat serius dengan upaya ini, antara lain:
menciptakan sendiri metode baru penafsiran Al qur’an. Hasilnya adalah teologi
yang memilki karakter atau sifat ilmiah dalam tafsir Al qur’an.
6. Sir
Muhamad Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi awal
ke-20 adalah Sir Muhamdad Iqbal marupakan seorang muslim pertama di anak benua
India yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan memilki latar belakang
yang bercorak tradisisonal islam. Kedua hal ini muncul dari karya utama di
tahun 1930 yang berjudul the reconstruction of religious thought in
islam (pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam)
H. Tujuan
Pembaruan dalam Islam
Berbicara
mengenai tujuan pembaruan Islam, maka tidak dapat dilepaskan dari misi yang
diemban oleh gerakan tersebut. Menurut Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam
memiliki dua misi ganda, yaitu misi purifikasi, dan misi implementasi ajaran
Islam di tengah tantangan jaman.
Bertitik-tolak
dari kedua misi di atas, maka tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah:
Pertama, purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan
keagamaan pada jaman awal Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman
Nabi sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu
puncak yang luar-biasa dan cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang.
Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena
kurang sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam
sesuai semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang
masuk dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya
ini dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai
bentuk ritual dari pengaruh sesat.
Kedua, menjawab
tantangan jaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu agama yang di
dalamnya terkandung berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek
kehidupan umat manusia, sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat
jaman. Dengan berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan
pembaruan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam
sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.
I. Ijtihad
sebagai Kunci Pembaruan Islam
Untuk
mewujudkan kedua tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode
pokok untuk berjalannya gerakan pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya
tidak terlalu berlebihan karena pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara
kepada aktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah
kehidupan sosial, dan semua itu memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di
sini berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak
menyimpang dari ajaran Islam sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam
dapat terwujud dan teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam
kehidupan sosial, Islam tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran
dan kelemahan, bahkan kehancuran. Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan
ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus
berkembang.
Dalam konteks
sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan
pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan
sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum
(syari’ah) semata yang selama ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting
bagaimana ijtihad dimaknai sebagai upaya untuk menilai “ulang” terhadap
berbagai warisan keagamaan yang ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan
kembali sesuai dengan pemikiran modern.36 Semangat untuk terus menghidupkan
ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang selalu digelorakan oleh para
pembaru (mujaddidun).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di
atas, dapat diambil kesimpulan penting sebagai berikut: Pertama, pembaruan
Islam (tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran Islam yang rahmah li
al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut adanya upaya rasionalisasi
dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat jaman. Hal itu karena pada
hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan rasionalisasi dan
kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.
Kedua,
keharusan bagi upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan dasar yaitu
landasan teologis, landasan normatif, dan landasan historis. Artinya bahwa
gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang kuat.
Ketiga, agar
tajdid dalam Islam dapat terimplementasikan dan teraktualisasikan, maka ijtihad
harus dijalankan karena tajdid dan ijtihad hakikatnya merupakan dua hal yang
saling terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. The Religion of
Islam. Kairo: The Arab Writer Publisher & Printers, t.t.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi
Syariah: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International dalam
Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi
Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali,
1998.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik
Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta:
Paramadina, 1996.
CD Room Mausu’ah Al-Hadits Al-Syarif.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam
Islam, terj. Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Mohammadenism: A Historical Survey. New
York: A Galaxy Book, 1962.
Idris, Zulbadri. “Pembaharuan Islam Sebelum
Periode Modern”, dalam Jurnal Media Akademika, No. 49. Tahun XIV/1998.
Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis
Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI,
Tahun 1995.
Tradisi Tajdid dalam Sejarah Islam
(bagian kedua), dalam Suara Muhammadiyah, No. 06/80/1995.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Azra ,Azyumardi, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru ,Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002.
Jalaluddin,Teologi Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, 2002.
Mujib ,Abdul dan Jusuf Mudzakir,Nuansa-nuansa psikologi Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.
Tadjab, et al, Dasar-dasar Kependidikan Islam ,Surabaya:Karya Aditama,1996.
[1] Tadjab, et al,Dasar-dasar Kependidikan Islam (Surabaya:Karya Aditama,1996), hal. 1.
[2] Ibid.,hal.2.
[3] Jalaluddin,Teologi Pendidikan(Jakarta:Raja Grafindo Perkasa,2002) hal. 2.
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 69-78.
[5] Ibid ,hal 100.
[6] Jalaluddin, op. cit.h. 3.
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa psikologi Islam(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2001), hal.70-73
[8] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar,Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Ciputat Press,2005), hal. 23
[9] Tadjab, et al,. op. cit.h. 62-66..
Azra ,Azyumardi, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru ,Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002.
Jalaluddin,Teologi Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, 2002.
Mujib ,Abdul dan Jusuf Mudzakir,Nuansa-nuansa psikologi Islam, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.
Tadjab, et al, Dasar-dasar Kependidikan Islam ,Surabaya:Karya Aditama,1996.
[1] Tadjab, et al,Dasar-dasar Kependidikan Islam (Surabaya:Karya Aditama,1996), hal. 1.
[2] Ibid.,hal.2.
[3] Jalaluddin,Teologi Pendidikan(Jakarta:Raja Grafindo Perkasa,2002) hal. 2.
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam;Tradisi dan modernisasi menuju milennium baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 69-78.
[5] Ibid ,hal 100.
[6] Jalaluddin, op. cit.h. 3.
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa psikologi Islam(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2001), hal.70-73
[8] Al-Rasyidin dan Samsul Nizar,Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Ciputat Press,2005), hal. 23
[9] Tadjab, et al,. op. cit.h. 62-66..
0 Response to "makalah tokoh dan aliran pendidikan modern "
Post a Comment